BEBASKAN HAKIM MENJATUHKAN HUKUMAN KREATIF
Belakangan ini, banyak sekali kita dengar berita mengenai permasalahan penjara di negara kita. Terbesar, Lapas Tanjung Gusta bergolak, dan yang terbaru, Lapas Labuhan Ruku, masih di provinsi yang sama, Sumatera Utara. Ini baru dua penjara yang kita sebut. Terlalu lelah untuk menuliskan satu persatu lembaga pemasyarakatan yang bermasalah di negeri ini: daftarnya terlalu banyak.
Ada banyak persoalan dalam sistem penjara kita yang melatarbelakangi kerusuhan demi kerusuhan tersebut. Tetapi salah satu yang menjadi persoalan akut adalah sudah penuh sesaknya atau over kapasitas penjara-penjara di sekeliling Indonesia. Labuhan Ruku misalnya. Dari kapasitasnya yang hanya mampu menampung 250 narapidana, nyatanya LP tipe Kelas II A ini dihuni oleh sekitar 800 orang pesakitan. Bayangkan, betapa sesaknya ruang-ruang tahanan penjara yang satu ini. Bila kita memeriksanya secara teliti, sudah pasti kita akan menemukan banyak cerita menyeramkan dalam penjara yang penu sesak ini. Pelecehan seksual mungkin masuk dalam puncak daftar, kesehatan yang buruk, perlakuan kasar dan tidak manusiawi, dan lain-lain. Ini jelas bertolak belakang dari filosofi teoritis pemilihan nama LP ganti penjara, yang menginginkan lapas-lapas itu sebagai “sekolah pemulihan” bagi para penghuninya untuk bersiap kembali ke dalam masyarakat yang beradab. Wajar saja banyak yang berkata Lembaga Pemasyarakatan benar-benar bukan lembaga pemasyarakatan.
Banyak argumen yang akan diberikan orang bila ditanya mengapa lapas-lapas Indonesia umumnya over kapasitas. Orang mungkin berkata itu bukti dari meningkatnya kriminalitas di akhir zaman yang edan ini. Bisa pula orang berkata itu bukti kelambanan pemerintah dalam membangun lapas-lapas baru. Bila ditarik-tarik ke dugaan-dugaan korupsi di kementerian yang menangani masalah penjara, argumentasi bisa lebih berpanjang-panjang lagi.
Tetapi ada satu solusi yang mestinya dapat mengempiskan penjara-penjara kita, dan bila solusi ini diterapkan sejak dulu, sudah pasti kita tidak akan mendengarkan berbagai kerusuhan akibat sesaknya penjara seperti sekarang ini, yaitu apabila hakim-hakim dibebaskan menjatuhkan hukuman kreatif atau alternatif selain hukuman tradisonal yang dikenal sistem hukum pidana kita selama ini.
Kita harus mengakui bahwa sistem hukum pidana kita memang sangat miskin kreatifitas dalam jenis-jenis pidana. Baik KUHP maupun KUHAP, produk-produk lama yang sudah usang itu, hanya mengenal beberapa jenis pidana yaitu pidana bebas, pidana mati, pidana penjara/kurungan dan pidana denda. Dan tentu saja, untuk semua pasal yang didakwakan, hampir seratus persen pidana yang dijatuhkan hakim di Indonesia sejak dulu adalah penjara. Tentu saja dampak buruk dari sistem ini ialah cepatnya penjara-penjara di Indonesia menjadi sesak. Jika anda berkeliling penjara-penjara di seluruh Tanah Air, anda akan menemukan hampir semua penjara kita sudah over kapasitas.
Pertanyaan kita, mengapa semuanya harus dilemparkan ke penjara? Okeylah buat pelaku-pelaku kejahatan besar seperti pemerkosaan, pembunuhan, perampokan, pengedar narkoba, penculikan, korupsi, terorisme dan beberapa yang lain, boleh didekamkan di penjara. Tapi orang-orang yang tertangkap main gaplek atau sabung ayam, atau berantem di sekolah, pencemaran nama baik, orang mabuk, pemakai narkoba, atau bahkan Si Janda Miskin yang memetik sebiji coklat milik perusahaan perkebunan besar untuk biaya makan, mengapa harus dilemparkan ke penjara juga…??
Mengingat jumlah penduduk negeri kita yang hampir 300 juta jiwa, jelas penjara akan cepat sesak penuh bila mereka semua harus dimasukkan ke sana. Dampaknya, jelas lapas-lapas itu akan gagal meraih tujuan mereka untuk memasyarakatkan para napi, repotnya petugas-petugas lapas, sampai besarnya biaya yang harus dikeluarkan negara.
Mestinya, untuk kejahatan-kejahatan kecil, hakim dibebaskan untuk menjatuhkan pidana alternatif, sebagaimana yang dianut oleh negara-negara maju. Bila kita melihat Amerika atau Eropa, disana terpidana tidak lagi harus dihukum dengan penjara, khususnya untuk kejahatan-kejahatan kecil. Ada pidana berupa larangan mendekati seseorang selama sekian tahun, pidana berupa kerja bakti selama sekian lama, pidana menjadi petugas kebersihan kota, pidana untuk menyalami anak-anak sekolah sekian lama, pidana berupa larangan tampil sekian lama, pidana larangan menyetir mobil sekian lama, dan lain sebagainya. Hasilnya, penjara-penjara mereka tidak perlu menjadi sesak penuh seperti di negeri ini. Pemerintah mereka juga tidak perlu repot-repot mengurus penjara-penjara yang bergolak karena kerusuhan.
Penjatuhan pidana alternatif ini mestinya dapat diterapkan di negara kita. Memang terlihat agak sulit karena KUHAP hanya mengenal hukuman penjara, sehingga seolah-olah undang-undang tersebut harus diganti dulu seluruhnya. Jelas ini repot dan butuh waktu panjang. Tapi semua itu bisa terjadi karena sistem hukum kita mengenal istilah perubahan sebagian isi dari suatu UU. Kita bisa menerbitkan UU yang mengganti sebagian KUHAP, khususnya mengenai pemidanaan.
Jika anda mengira penjara sudah pasti memberi efek jera, saya pikir anda terlalu berpikir sederhana. Penjara yang penuh sesak malah lebih berpotensi memberi peluang bagi bandit-bandit besar melakukan kaderisasi dan merekrut jaringan baru daripada memberi efek jera. Saya pikir, efek jera justru lebih mudah dirasakan seseorang pejudi yang dihukum untuk membersihkan sungai selama berbulan-bulan misalnya, daripada memasukkannya ke penjara. Juga seringkali sentuhan nilai-nilai moral menggugah mereka untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Seorang ayah yang kasar misalnya, bila dihukum untuk menyalami ratusan anak sekolah dengan kewajiban tersenyum setiap hari selama tiga bulan, akan lebih mudah tersentuh untuk berubah daripada memasukkannya ke penjara selama 3 bulan juga.
Mungkin ada yang berpikir itu merepotkan dan makan biaya. Tapi jika dibandingkan dengan pengeluaran negara mengurusi narapidana di penjara, termasuk memberi mereka makan tiga kali sehari dan biaya lain-lain, manakah yang lebih mahal? Bukankah pemberian hukuman alternatif di lain pihak akan membuat beban penjara menjadi berkurang juga?
Jika gagasan ini bisa dijalankan, saya percaya kita tidak perlu lagi mendengar berita-berita kerusuhan penjara seperti LP Tanjung Gusta dan LP Labuhan Ruku yang sedang hangat sekarang.